
Mengapa orangtua shalih menghasilkan anak-anak yang salah? Banyak pertanyaan diajukan kepada saya dan terhenyaklah saya ketika seorang Ustadz mengirimkan kepada saya sebuah buku yang membahas hal ini. Panjang cerita, tetapi pangkalnya adalah buta tarbiyah (الأمية التربوية). Perhatian kepada bakat, tetapi tak tahu mana yang pokok mana yang furu’.
Banyak orangtua yang bersibuk dalam urusan ri’ayah (pengasuhan), tetapi merasa sudah memberikan tarbiyah kepada anak. Tak sedikit yang merasa menjadi orang shalih itu menjamin lahirnya anak-anak yang shalih. Lupa betapa banyak anak yang salah dari orang yang shalih.
Sebaliknya, tidak sedikit yang menakut-nakuti seolah tak ada harapan bagi yang sekarang masih terseok dalam mendidik anak. Bahkan dalam urusan diri sendiri saja masih sangat banyak yang harus diperbaiki dan dibenahi. Indah sekali terdengar di telinga, “Shalihkan dirimu sendiri dulu, pantaskan diri menjadi orangtua yang shalih sebelum menginginkan anak yang shalih.”
Serupa dengan itu ucapan yang menakjubkan sekaligus membuat putus asa mereka yang baru belajar mengeja huruf Al-Qur’an untuk mempunyai anak ahlul qur’an. Kerap terdengar suara yang nyaring, “Kalau mau mempunyai anak yang hafizh, yang orangtua harus hafizh. Bagaimana mau punya anak ahli qur’an kalau bapaknya sendiri belum bisa mengajari?”
Lupa bahwa banyak profesor yang lahir dari ibu buta huruf. Lupa bahwa Ikrimah bin `Amr Al-Makhzoumi radhiyaLlahu ‘anhu, seorang sahabat Nabi yang penuh kemuliaan adalah putra Abu Jahal. Sekedar kita ingat, Abu Jahal adalah julukan sekaligus simbol kejahilan. Bukan nama sebenarnya. ‘Amr bin Hisyam Al-Makhzoumi adalah nama asli Abu Jahal.
Ini bukan untuk meremehkan pentingnya berbenah memperbaiki diri, tetapi agar kita tidak berputus asa sejauh apa pun kekeliruan dan kesalahan kita. Seperti kata ‘Ali bin Abi Thalib radhiyaLlahu ‘anhu:
كُنِ ابنَ مَن شِئتَ واكتسِبْ أدباً يُغنيكَ محمودُه عن النسبِ
“Jadilah kamu anak siapa pun dan miliki adab yang baik, itu lebih berharga daripada nasab.”
Tidak tepat betul pemaknaannya dalam bahasa Indonesia. Tetapi perkataan yang ditujukan kepada anak-anak muda ini sekaligus memberikan pelajaran bahwa seorang dapat meraih kemuliaan melampaui nasabnya.
Maka, ada yang senantiasa perlu kita perhatikan. Bukankah yang diperingatkan pertama oleh Allah ‘Azza wa Jalla dalam Al-Qur’an surat An-Nisaa’ ayat 9 adalah hendaknya kita, para orangtua, senantiasa memiliki rasa takut (khasyyah)?
Jadi terus berbenah, berusaha mengilmui dengan tuntunan yang shahih agar kita tidak buta tarbiyah (الأمية التربوية), sekaligus tidak berputus asa melihat keadaan kita saat ini. Ada Allah ‘Azza wa Jalla yang kita senantiasa perlu isti’anah (memohon pertolongan) kepada-Nya.
Mohammad Fauzil Adhim