SANG AYAH YANG BIJAK
Igo Chaniago
Tarbiyatul Aulad atau pendidikan anak dalam syariat sudah diatur sedemikian rupa untuk memudahkan orang tua dalam mengasuh putraputrinya.
Namun terkadang orang tua sendirilah yang menghendaki kesukaran karena ambisi yang bermacam. Anaknya ingin terlihat hebat dan lebih baik daripada anak yang lain, sehingga anak tidak terasa telah menjadi korban. Ingin anaknya bisa ini itu disaat anak yang lain belum bisa melakukannya.
Seperti anak balita yang dileskan hal-hal ringan seperti renang, piano, tari, balet bahkan hingga yang berat seperti dimasukan rumah tahfidz supaya seperti anak-anak lain yang masih balita sudah hafal quran, atau jika orang tuanya tidak agamis anak dimasukan ke kursus vocal supaya kelak menjadi artis sehingga terkenal dan juga tajir. Setiap orang tua berdalih, “Saya hanya ingin yang terbaik untuk putra-putri saya”
Namun jika ditanyakan di lubuk hati yang terdalam, sesungguhnya benarkah menginginkan yang terbaik untuk anaknya atau ingin memenuhi ambisi orang tuanya agar anak terlihat hebat?
Jika anak dimasukan les vocal kemudian kelak menjadi artis siapa yang mendapat manfaat? Orang tuanya! Karena anak sejak kecil sudah jadi artis dan bisa menghasilkan uang, orang tua tidak perlu menghidupi anak balitanya dan justru orang tua mengeruk uang dari anaknya.
Jika anak balita sudah hafidz quran 30 juz, siapa yang mendapat manfaat? Orang tuanya! Karena dalam hadits kelak anak yang hafidz akan mempersembahkan mahkota bagi orang tuanya di akhirat.
Masa yang paling fatal dalam mendidik anak adalah di usia 0-7 tahun. Ini adalah masa dimana orang tua lebih focus dalam menuntaskan fitrah keimanannya. Banyak kasus yang terjadi dimana orang tua sangat bangga jika melihat anaknya sudah bisa macem macem di bawah 7 tahun. Bisa menulis, bisa membaca, bisa berhitung (CALISTUNG) dan juga bangga jika anaknya sudah bisa membaca quran dan hafal quran ketika di bawah 7 tahun.
Padahal, sebenarnya masa 0-7 tahun adalah masanya anak-anak bermain dan lebih ditekankan pada fitrah keimanan dan pembentukan adab. Bukan diajarkan hal-hal kognitif sehingga mencederai fitrah perkembangan anak. Ada seorang ulama yang mengatakan analogi yang secara makna betul, tapi harfiahnya kurang tepat :
“anak itu tidak mengerti apa-apa, jadi jangan banyak memberi mereka kesempatan main-main. Mendidik mereka di waktu kecil seperti memahat di atas batu, lebih menancap. Karena mendidik anak ketika dewasa seperti menulis di atas air.
Memang ada beberapa anak yang berbeda dan luar biasa di masa kecilnya. Misalnya Imam Syafi’I yang 5 tahun sudah hafal quran 30 juz, 7 tahun sudah hafal kitab al-muwatha karangan gurunya, Imam Malik. Dan umur 9 tahun sudah jadi mufti dimekkah. Ketika ditanya “kenapa engkau tidak ingin bermain-main sebagaimana anak kecil yang lain bermain? Jawaban Imam Syafi’i sangat lugas : “Sesungguhnya bukan untuk main-main aku diciptakan”
Sungguh menakjubkan anak kecil menjawab seperti ini dengan spontan, dia pastilah bukan manusia biasa. Dia pasti manusia pilihan Allah yang memang sudah dipersiapkan menjadi ulama sejak dini.
Namun patut di ingat, tidak semua saudara kandung Imam Syafi’i menjadi ulama besar meski lahir dari rahim dan dididik dari ibu yang sama. Jika anak ayah bunda memang sudah berpotensi mempunyai kecerdasan yang luar biasa seperti Imam Syafi’i, maka bersyukurlah. Namun jika anak kita tidak diberi anugerah ini, maka janganlah memaksakan diri untuk anak kita di “Imam Syafi’i” kan.
Maka wahai para ayah, bijaklah dalam mendidik anak-anakmu. Jadilah orang tua yang bijak yang memahami karakter sang anak yang berbeda. Tidak semua anak bisa dididik dengan cara yang sama. Dan janganlah menuntut anak menjadi ini itu sesuai ambisimu.
Berikanlah hak-hak anak dan jangan menjadi orang tua yang durhaka. Setiap perkembangan anak ada tahapan sesuai usianya. Tugas kita sebagai orang tua hanyalah sebagai penjaga amanah. Sejatinya, anakmu bukanlah anakmu, dia hanya titipan Allah. Kewajiban kita adalah menuntunnya menemukan fitrahnya, bukan menuntutnya untuk menjadi seperti yang kau inginkan.
Jadilah Sang Ayah yang bijak
#Fatherhood Series
#Home Education
#Ayah Pendidik Peradaban